Baru-baru ini saya mendapatkan tautan di whatsapp tentang salah satu perusahaan besar milik negara yang mengganti logo perusahaan. Menurut CEO perusahaan tersebut, perubahan logo ini agar dapat lebih mengintegrasikan perusahaan-perusahaan dalam groupnya yang berbeda bisnis dan budayanya menjadi satu dalam satu grup perusahaan. Pun demikian ada juga suara sumbang yang menganggapnya sebagai suatu pemborosan dan bukan hal penting yang harus dikerjakan.
Fenomena ganti logo perusahaan di Indonesia bukanlah praktek yang baru dan seringkali terjadi di berbagai perusahaan. Selalu ada harapan baru ketika sebuah perusahaan memutuskan untuk meninggalkan logo lamanya dan berubah menuju yang baru. Banyak alasan yang dikemukakan, namun satu benang merahnya adalah perusahaan menginginkan kondisi yang lebih baik dalam bisnis di masa mendatang.
Perusahaan tempat saya bekerja saat ini juga pernah mengganti logonya, bahkan sampai empat kali dari pertama berdiri di sekitar tahun 1965. Saya kebetulan hanya mengalami sekali ganti logo sekitar tahun 2011.
Padahal dalam setiap logo perusahaan selalu ada makna filosofis yang “sangat bagus”, baik logo lama maupun logo baru. Makna filosofis dibuat sesuai dengan keinginan yang membuat logo disesuaikan dengan visi misi perusahaan. Pada intinya tidak ada yang jelek dengan setiap logo perusahaan.
Pengalaman ganti logo pada tahun 2011, saya tidak merasakan adanya perubahan pada semangat dan pola kerja perusahaan. Semua proses berjalan seperti biasa, ritme bisnis juga bergulir layaknya sedia kala. Hanya perubahan filosofi makna dalam logo baru perusahaan saja, dibandingkan dengan logo lama. Pemaknaan dalam logo baru yang sangat mengawang-awang membuat saya yakin tidak semua orang paham, termasuk manajemen.
Mungkin ahli marketing mengatakan logo adalah brand image perusahaan yang harus secara dinamis disesuaikan dengan bisnis perusahaan, konsumen yang disasar dan hal-hal lainnya. Hal ini seringkali menjadi alasan manajemen perusahaan bolak balik mengubah logonya.
Sebenarnya ada tiga alasan mengapa perusahaan baik BUMN maupun swasta mengganti logonya. Pertama, adanya keyakinan di masyarakat jika seseorang sakit-sakitan, hidupnya kurang mujur maka perlu ganti nama. Dalam beberapa kesempatan memang hal itu terjadi, percaya tidak percaya. Titik Puspa adalah contohnya, dia sempat tiga kali ganti nama akibat sakit-sakitan sebelum akhirnya mendapatkan namanya sekarang.
Keyakinan ini pula yang mempengaruhi jika perusahaan sedang tidak bagus bisnisnya, rugi melulu maka harus ganti logo. Harapannya seperti ganti nama maka nasib perusahaan akan membaik dan mencetak laba.
Kedua, secara branding logo lama tidak sesuai dengan bisnis perusahaan serta konsumen yang disasar. Contohnya adalah perusahaan mainan anak yang logonya berupa gambar tengkorak.
Segmen perusahaan mainan anak tentu adalah anak-anak, bukan penggemar film horror atau hantu. Untuk itu logo gambar tengkorak tidak lah sesuai dan perlu diganti dengan logo yang lebih dekat dan meresap di benak anak-anak seperti misalnya gambar binatang piaraan yang lucu, atau yang semisal.
Ketiga, manajemen perusahaan ingin meninggalkan warisan yang mudah dikenang. Mengganti logo perusahaan adalah hal termudah yang bisa dilakukan oleh manajemen lama atau baru suatu perusahaan. Biasanya hal ini dilakukan oleh manajemen yang “tidak” mempunyai prestasi cemerlang dalam mengelola perusahaannya.
Hal-hal yang diutak-utik adalah hal-hal yang tidak urgen, remeh temeh, tapi dianggap bisa mempunyai warisan selama mereka menjabat yaitu ganti logo. Mereka tidak bisa melakukan pembenahan total terhadap proses bisnis, cara kerja, cara pemasaran, efektifitas dan efisiensi perusahaan.
Menurut pengamatan saya hanya tiga alasan itulah sebuah logo perusahaan berubah. Alasan kedua tentu tidak menjadi soal, lain halnya dengan alasan pertama dan ketiga. Semestinya alasan pertama dan ketiga tidak perlu muncul ketika manajemen perusahaan benar-benar bisa bertindak profesional untuk melakukan segenap aksi korporasi menyelamatkan perusahaannya dari kerugian.
Sudah sewajarnya manajemen perusahaan BUMN dan swasta yang ada di Indonesia belajar dari para Presiden Republik Indonesia. Meskipun tahun 1965 bangsa kita didera konflik politik yang memporak porandakan ekonomi, kemudian pada tahun 1998 krisis moneter parah melanda, dan tahun 2020 ini Indonesia dihantam pandemi yang juga menghantam ekonomi jutaan orang, namun tak satu pun presiden yang berkuasa saat itu berkeinginan mengganti logo atau lambang negara yaitu Garuda Pancasila. Para presiden RI tersebut sadar, bukan logonya yang salah namun cara pengelolaan negara yang tidak benar. Kalau mereka memakai alasan pertama dan ketiga, pastilah lambang negara akan diubah.